Penerbitan di Indonesia

Di Indonesia ,awalnya bentuk buku di Indonesia adalah gulungan daun lontar. Ada pula yang mengatakan buku sudah ada sejak zaman Sang Budha di Kamboja karena pada saat itu Sang Budha menuliskan wahyunya di atas daun kemudian membacanya secara berulang- ulang. Buku yang terbuat dari kertas baru ada setelah Tiongkok berhasil menciptakan kertas pada tahun 200 an SM dari bahan dasar bambu yang ditemukan oleh Tsai Lun. Kertas membawa banyak kemajuan di dunia. Selanjutnya pedagang muslim membawa teknologi penciptaan kertas dari Tiongkok ke Eropa. Dari sinilah industri kertas bertambah maju dengan diciptakannya mesin cetak oleh Johan Guten Berg pada abad ke 15 sehingga terjadilah perkembangan dan penyebaran buku mengalami  revolusi.

Kertas yang ringan dan dapat bertahan lama dikumpulkan menjadi satu maka terciptalah buku yang hingga kini menjadi industri  penerbitan. Menurut Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, usaha penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.

Inovasi penerbitan yang berkaitan dengan medium penerbitan juga berlangsung sejalan dengan perkembangan komunikasi manusia dari komunikasi tertulis ke komunikasi digital. Komunikasi digital memungkinkan penyimpanan, penelusuran dan penemuan kembali informasi dilakukan dengan mudah dan cepat. Bahkan bukan hanya itu, dipindahkan dari satu medium ke medium lainnya dalam haerdisk ke flashdisk atau CD bisa dilakukan dengan cepat hanya dalam hitungan beberpa menit. Pengalihan dari satu medium ke bentuk medium lain, seperti hardisk ke kertas pun bisa dilakukan dengan relatif cepat seperti memprint e-book.

Kemudahan dan kecepatan memindahkan itu tidak lagi terhalang oleh jarak. Satu e-book bisa dengan  mudah dikirimkan dari Eropa ke Indonesia hanya dalam hitungan detik miosalnya dengan menggunakan e-mail.  Sejarah revolusi industri dimulai dari industri 1.0, 2.0, 3.0, hingga industri 4.0. Fase industri merupakan real change dari perubahan yang ada. Industri 1.0 ditandai dengan mekanisasi produksi untuk menunjang efektifitas dan efisiensi aktivitas manusia, industri 2.0 dicirikan oleh produksi massal dan standarisasi mutu, industri 3.0 ditandai dengan penyesuaian massal dan fleksibilitas manufaktur berbasis otomasi dan robot. Industri 4.0 selanjutnya hadir menggantikan industri 3.0 yang ditandai dengan cyber fisik dan kolaborasi manufaktur.

Istilah industri 4.0 berasal dari sebuah proyek yang diprakarsai oleh pemerintah Jerman untuk mempromosikan komputerisasi manufaktur. Kemajuan teknologi memungkinkan terjadinya otomatisasi hampir di semua bidang. Teknologi dan pendekatan baru yang menggabungkan dunia fisik, digital, dan biologi secara fundamental akan mengubah pola hidup dan interaksi manusia (Tjandrawinata, 2016). Industri 4.0 sebagai fase revolusi teknologi mengubah cara beraktifitas manusia dalam skala, ruang lingkup, kompleksitas, dan transformasi dari pengalaman hidup sebelumnya. Manusia bahkan akan hidup dalam ketidakpastian (uncertainty) global, oleh karena itu manusia harus memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan yang berubah sangat cepat. Tiap negara harus merespon perubahan tersebut secara terintegrasi dan komprehensif. Respon tersebut dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan politik global, mulai dari sektor publik, swasta, akademisi, hingga masyarakat sipil sehingga tantangan industri 4.0 dapat dikelola menjadi peluang.

Industri perbukuan di Indonesia pun berupaya mengikuti gelombang tersebut. Berbeda dari masa-masa sebelumnya, pada masa industri 4.0, para pelaku industri perbukuan melebarkan sayap ke dunia maya untuk memperluas penjualan. Hingga kini, kemunculan penerbit-penerbit digital atau online self publishing semakin berkembang. Di antaranya nulisbuku.com, leutikaprio.com, dapurbuku.com, dan diandracreative.wordpress.com yang memiliki jejaring penulis dan pembaca luas di dunia maya. Fenomena pembagian ruang gerak dan pangsa pasar tersebut semakin tampak mencolok. Terutama ketika penjualan buku offline mengalami penurunan. Menurut catatan IKAPI dalam buku berjudul Industri Penerbitan Buku Indonesia: Dalam Data dan Fakta (2015), potensi pangsa pasar buku di Indonesia dapat diukur dari potensi kelas menengah Indonesia.

Perpusnas mencatat ada   690  penerbit di seluruh Indonesia. Sisanya, 66 penerbit, tersebar di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Lebih dari separuh jumlah ini berada di Pulau Sumatera. Perang harga buku di lokal pasar Indonesia Ketika semua beramai – ramai melakukan aktifitas   perdagangan di platfrom digital.  Kondisi ini kian menambah kerentanan para pelaku dan pegiat di dunia perbukuan Indonesia. Untuk itu, industri penerbitan bisa memperbaiki ekosistem ini, baik bersama antarpelaku dunia penerbitan dan perbukuan maupun pemerintah atau instansi terkait. Mempertemukan para pelaku dunia industri perbukuan untuk bersama- sama membahas masalah  masalah di industri tpenerbitan  bukanlah hal yang mustahil. Menciptakan ekosistem yang sehat perlu melibatkan peran aktif seluruh pelaku industrI  baik dari segi penulis, editor, percetakan, distributor, penjual buku bahkan pembaca itu sendiri

 

Referensi:

http://jurnal.pancabudi.ac.id/index.php/abdiilmu/article/download/708/671/

Wikipedia

Kontributor:

Tri Sundari (Pustakawan UAD Kampus 2)