Emansipasi Perempuan dalam Cahaya Muhammadiyah: Mengenang R.A. Kartini dengan Spirit Al-Qur’an dan As-Sunnah
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, sebuah momentum untuk mengenang dan merefleksikan perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan. Semangat Kartini, yang bergelora untuk membuka akses pendidikan dan kesempatan yang setara bagi kaum wanita, menemukan resonansi yang kuat dalam perspektif Muhammadiyah. Sebagai gerakan Islam modern yang progresif, Muhammadiyah sejak awal kelahirannya telah menaruh perhatian besar pada kemajuan perempuan, sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Muhammadiyah memahami bahwa Islam tidak pernah mengekang potensi perempuan. Justru, ajaran Islam memandang laki-laki dan perempuan sebagai makhluk Allah yang memiliki kedudukan yang sama di hadapan-Nya. Keduanya memiliki tanggung jawab yang sama untuk beribadah, beramal saleh, dan berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Prinsip kesetaraan ini tercermin dalam berbagai ayat Al-Qur’an, salah satunya dalam Surah An-Nisa’ ayat 32:
وَلَا تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ ۚ وَسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini secara jelas menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak untuk berusaha dan mendapatkan hasil dari usaha mereka. Tidak ada pembatasan berdasarkan jenis kelamin dalam meraih kemajuan dan keberhasilan. Semangat inilah yang juga diusung oleh Kartini dalam perjuangannya. Beliau melihat bahwa perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dan berhak mendapatkan pendidikan yang layak agar dapat mengembangkan potensi tersebut dan berkontribusi bagi bangsa.
Lebih lanjut, Muhammadiyah juga mendasarkan pandangannya pada hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang memberikan penekanan pada pentingnya ilmu pengetahuan bagi setiap Muslim, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu hadis yang sering dikutip adalah:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Keumuman lafaz “setiap Muslim” dalam hadis ini menunjukkan bahwa kewajiban menuntut ilmu berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, Muhammadiyah memandang bahwa pendidikan adalah hak fundamental bagi setiap individu, dan perempuan memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Dalam implementasinya, Muhammadiyah telah mendirikan berbagai lembaga pendidikan bagi perempuan sejak awal abad ke-20, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Sekolah-sekolah Muhammadiyah untuk perempuan tidak hanya memberikan pelajaran agama, tetapi juga pengetahuan umum dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekal hidup dan berkiprah di masyarakat. Hal ini merupakan wujud nyata dari komitmen Muhammadiyah untuk memberdayakan perempuan sesuai dengan semangat ajaran Islam dan cita-cita Kartini.
Salah satu organisasi perempuan otonom Muhammadiyah yang memiliki peran sentral dalam mewujudkan visi pemberdayaan perempuan adalah ‘Aisyiyah. Didirikan pada tahun 1917, ‘Aisyiyah telah menjadi garda terdepan dalam memajukan pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi bagi perempuan Indonesia. Melalui jaringan luas sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat, ‘Aisyiyah secara nyata menerjemahkan nilai-nilai Islam tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam tindakan. Organisasi ini tidak hanya fokus pada peningkatan kualitas hidup perempuan secara individu, tetapi juga mendorong partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan bangsa. Kiprah ‘Aisyiyah menjadi bukti konkret bagaimana Muhammadiyah mengintegrasikan semangat Kartini dengan ajaran Islam yang memuliakan perempuan.
Peringatan Hari Kartini bagi Muhammadiyah bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum untuk terus merefleksikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai perjuangan Kartini dalam konteks kekinian. Muhammadiyah menyadari bahwa tantangan yang dihadapi perempuan saat ini mungkin berbeda dengan masa Kartini, namun semangat untuk mencapai kesetaraan, keadilan, dan kemajuan tetap relevan.
Oleh karena itu, Muhammadiyah terus mendorong perempuan untuk aktif dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam ranah domestik maupun publik. Perempuan Muhammadiyah diharapkan menjadi agen perubahan yang berkontribusi dalam memajukan pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan dakwah. Mereka didorong untuk memiliki pemahaman agama yang mendalam, berakhlak mulia, mandiri, dan memiliki kepedulian terhadap sesama.
Dengan meneladani semangat Kartini yang gigih dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan berlandaskan pada nilai-nilai luhur Al-Qur’an dan As-Sunnah, Muhammadiyah terus berkomitmen untuk memberdayakan perempuan Indonesia agar dapat meraih kemajuan dan memberikan kontribusi yang optimal bagi agama, bangsa, dan negara. Hari Kartini menjadi pengingat yang berharga bahwa perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan berkeadaban, di mana laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang, adalah tugas yang berkelanjutan.
Daftar Referensi:
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. (n.d.). https://aisyiyah.or.id/profil/
Rais, Muhammad Amin. (1999). Islam untuk disiplin ilmu sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kontributor: Anjas Alifah Bakry